Kamis, 03 Juni 2010

PROBLEMATIKA INDUSTRI PERBANKAN DI INDONESIA

Industry perbankan di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang semakin baik, namun tidak dapat pungkiri jika masih banyak menghadapi permasalahan. Apabila di amati, penyebab utamanya yaitu Lemah dan tidak ditetapkanya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Padahal bagi industry keuangan, penerapan prinsip-prisip tata kelola yang baik dalm mengelola usahanya merupakan hal yang mutlak. Selain lemahnya aspek good corporate governance tsb, hal lainya yang juga masih menjadi permaslahan

besar perbankan di INDONESIA adalah tentang ketatnya persaingan, yang tdk saja harus menghadapi sesama pemain perbankan local dan asing, tetapi juga harus menghadapi kenyataan akan hadirnya lembaga-lembaga alternatif lain seperti lembaga Pembiayaan dan lembaga-lembaga lain seperti Bank syariah yang saat ini semakin marak, dan secara agresif masuk ke dalam segmen bisnis yang selama ini merupakan kavling perbankan. Selain itu terdapat juga beberapa problematika lainya yang banyak di alami oleh perbankan Indonesia seperti :kelebihan likuiditas, kredit bermasalah, serta mentalitas para kreditor/bankin di Indonesia. Semua ini tentunya semakin memperberat kondisi industry dan semakin memperketat persaingan di kalangan perbankan dan merupakan salah satu dari problematika industi perbankan di Indonesia.
untuk menciptakan perbankan yang sehat harus dilakukan pendekatan dengan tiga pilar utama, yaitu pengawasan, internal governance, dan disiplin pasar. Pendekatan ini harus dilakukan karena otoritas pengawasan bank tidak akan mampu berpacu dengan kecepatan liberalisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi pada instrumen keuangan. Oleh karena itu pengawasan yang dilakukan oleh otoritas harus dilengkapi pula dengan disiplin internal bank, serta disiplin pasar. Dilibatkannya internal governance dalam melakukan pengawasan karena bank merupakan tempat terbaik untuk mengatur dan memelihara praktek manajemen bank yang sehat.



1. BANK SYARIAH
Perkembangan sistem ekonomi Syariah dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia terlihat semakin pesat. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik. Apalagi kondisi ini terjadi di saat bangsa Indonesia ditimpa oleh krisis multidimensi, yang diawali oleh krisis moneter pada tahun 1997, yang hingga saat ini masih berkepanjangan. Hal itu ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah seperti Bank Syariah.
Fenomena Bank Syariah di Indonesia dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat yang operasinya diresmikan pada 1 Mei 1992. Bank Muamalat bukan sekedar merupakan Bank Syariah pertama di Indonesia. Lebih dari itu, juga merupakan institusi ekonomi pertama yang menerapkan sistem Syariah di Indonesia. Wajar apabila BMI menjadi simbol monumental kebangkitan sistem ekonomi Syariah di Indonesia. Kemudian Bank Syariah Mandiri (BSM) yang merupakan hasil konversi sistem operasi perbankan dari konvensional ke sistem Syariah yang pada 19 November 1999 resmi mengikuti Bank Muamalat dalam menerapkan sistem Syariah. Adapun IFI Syariah adalah perbankan Syariah dengan mekanisme Dual Banking System. Artinya, suatu badan usaha perbankan, memiliki dua sistem operasi sekaligus yaitu sistem konvensional dan Syariah. Namun dalam pengelolaan dana, diantara keduanya harus tetap dipisahkan. Bank IFI resmi membuka satu kantor cabangnya dengan menerapkan sistem Syariah. Kemudian bank-Bank Syariah lainnya bermunculan seperti BNI Syariah, BRI Syariah dan lainnya.

Kalau kita persentasekan, maka volume usaha perbankan syariah baru mencapai angka 0,23 % (Sumber : Biro Perbankan Syariah BI). Walau demikian, prospek perbankan syariah kedepannya sangat cerah, apalagi mengingat pangsa pasarnya yang sangat besar. Sehingga wajar jika kemudian banyak bank-bank konvensional yang membuka cabang syariah secara langsung maupun melalui konversi cabang-cabang konvensionalnya menjadi cabang syariah. Fenomena perkembangan perbankan syariah ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik dan unik, karena fenomena ini terjadi justru di saat kondisi perekonomian nasional berada pada keadaan yang mengkhawatirkan.
a. Prinsip dasar bank syariah
Islam telah menjelaskan prinsip-prinsip dasar ekonomiannya, bahkan banyak sekali istilah-istilah bisnis yang dipakai dalam bahasa Quran dan Hadits seperti kredit (alqard), jual beli (albae), gadai (arrahn) dan lainnya.
Adapun prinsip-prinsip dasar ekonomi Syariat yang selama ini kita kenal melalui Bank Syariah adalah nilai-nilai ethika dan norma ekonomi yang universal dan komprehensif. Keuniversalan itu sengaja diberikan pada umat untuk memberikan kesempatan padanya agar berinovasi (ijtihad) dan berkreasi (jihad) dalam mengatur sistem ekonominya dengan syarat tidak keluar dari kerangka umumnya. Dengan begitu sistem ekonomi Islam akan senantiasa valid dan cocok untuk setiap perubahan waktu dan perbedaan tempat dan mampu memerankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.
Norma-norma tadi adalah merupakan prinsip-prinsip dasar Bank Syariah, secara globalnya dapat disimpulkan bahwa Islam mengatur semua transaksi ekonomi melalui nilai-nilai universal (attandzim), mudah (alyusru) dan luas (assa’ah)


b. Problematika Bank Syariah
Salah satu persamaan antara Bank Syariah dan bank konvensional adalah kedua-duanya berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan tujuan tersebut, Bank Syariah dituntut untuk berkembang dan menjadi lembaga finansial yang bonafid dan professional. Artinya bahwa Bank Syariah dalam menajemen investasi dan finansial dituntut untuk menggunakan asas profit oriented sebagaimana bank konvensioanl menjalaninya sehingga dengan asas tadi Bank Syariah bisa berkembang, bonafid dan professional bukan sekedar menggunakan jalur emosional keagamaan untuk menjaring nasabahnya. Itulah salah satu persamaan yang bisa dijadikan referensi dan motivasi dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan Perbankan Syariah.
Di sisi lain, Bank Syariah juga mempunyai tugas dan kewajiban yang harus diembannya, yaitu menjalankan pertumbuhan ekonomi berdasarkan Syariah, dimana usaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya itu harus didasarkan pada pedoman yang telah ditetapkan oleh Syariah, biasannya banyak diulas dalam kitab-kitab fiqh dan ijtihad ulama-ulama kontemporer, baik individu maupun kelompok

Berdasarkan standar tadi, timbullah pertanyaan: apakah Perbankan Syariah Indonesia mampu menjalankan operasional bank sesuai dengan kedua asas tadi secara bersamaan yaitu asas profit oriented dan Syariat Islam? Dan sejauh mana kesiapan Perbankan Syariah untuk mengimplementasikannya dalam tataran realitas?
Untuk itulah, Perbankan Syariah Indonesia dituntut untuk mempersiapkan diri; baik konsep Banknya yang dinamis dan inovatif, ataupun sumber daya manusianya yang professional untuk mengambil alih peran dalam mengendalikan perekonomian umat, khususnya di Indonesia.
Aspek laen yang menjadi problematika bank syariah adalah:
Adapun beberapa problematika yang muncul seiring dengan berkembangnya industri perbankan syariah dapat kita kategorikan pada beberapa masalah yang diantaranya adalah :
 Kurangnya deposito.
Perbankan yang beroperasi secara syariah tidak dapat menerima simpanan dari orang-orang yang ingin mendapat keuntungannya tanpa menanggung resiko apapun. Karena sesuai syariah, berbagi keuntungan tidak dibenarkan tanpa berbagi resiko. Jenis deposan seperti ini pada umumnya lebih cenderung untuk mendepositokan uangnya pada bank-bank yang beroperasi dengan system bunga / riba atau pada pasar modal (stock market).

 likuiditas berlebihan (excessive liquidity)
Tentu saja bank Islam akan lebih cenderung mempertahankan rasio yang tinggi antara uang tunai dengan simpanannya bila dibandingkan dengan perbankan konvensional. Ini dilakukan untuk mengantisipasi penarikan rekening tabungan yang dilakukan nasabah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Kemudian tidak semua nasabah bank Islam yang potensial menyetujui meminjamkan uangnya berdasarkan prinsip musyarakah atau kemitraan. Pada umumnya nasabah lebih senang meminjam dana atas dasar mudarabah, atau bahkan meminjam dari bank konvensional dengan system bunga. Sebaliknya bank Islam akan lebih senang --dengan alasan resiko-- berinvestasi atas dasar musyarakah ketimbang mudarabah, karena dalam mudarabah, jika suatu usaha mengalami kerugian maka bank akan menanggung beban kerugian yang lebih besar ketimbang partnernya. Sikap konservatif investor dan bank tersebut akan menimbulkan likuiditas berlebihan. Bank Islam pun cenderung menahan lebih banyak cadangannya (baik pada kasnya sendiri maupun bank sentral) sebagai perlindungan atas kerugian dan menjaga kepuasan para nasabah potensialnya.

 problematika biaya dan profitabilitas.
Bank Islam bekerja dengan aturan yang sangat ketat dan memilih investasi yang halal dan sesuai syariah saja. Implikasinya adalah bank Islam harus melakukan supervisi dan terkadang mengelola secara langsung operasional suatu proyek yang didanainya. Ini dilakukan untuk mereduksi pengeluaran manajerial. Akibatnya bank Islam harus memikul biaya tambahan yang tidak pernah terdapat pada pembukuan bank-bank berasas bunga. Bank Islam pun harus mampu meminimalisir potensi kerugian dari investasi mudarabahnya dan mengamankan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank riba. Hal ini menyebabkan bank Islam terdorong untuk mencari proyek yang segera memberikan keuntungan. Long gestation project (proyek dengan masa menunggu yang lama) dan proyek infrastruktur adalah proyek-proyek yang kurang menarik minat perbankan Islam, dimana bank Islam harus membayar keuntungan yang besar setiap tahun terhadap simpanan.
 pendanaan pinjaman untuk konsumsi.
Bank Islam terkadang kesulitan untuk memberi pinjaman yang bertujuan konsumtif. Hal ini disebabkan oleh masih terbatasnya dana yang dapat dipinjamkan tanpa memperoleh keuntungan. Kemudian bank-bank Islam yang ada saat ini masih kesulitan untuk mengumpulkan dana zakat, infak, maupun shadaqah pada skala yang besar, padahal dana zakat ini merupakan potensi yang sangat luar biasa, dan bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pendanaan pinjaman untuk tujuan konsumtif
 masih minimnya sumberdaya manusia yang memahami secara komprehensif segala hal yang berkaitan dengan industri perbankan syariah.
Sehingga dalam prakteknya, seringkali terjadi penyimpangan-penyimpangan aktivitas transaksi yang tidak sesuai dengan syariah. Karena itu Dewan Pengawas Syariah harus berperan aktif didalam mengawasi segala aktivitas usaha yang dilakukan bank Islam. Kemudian perlu ditingkatkan berbagai upaya sosialisasi secara terus menerus mengenai system perbankan yang sesuai dengan syariah. Dan masalah keenam yang dihadapi kalangan perbankan syariah adalah belum maksimalnya institusi undang-undang yang menjadi payung hukum bagi keseluruhan aktivitas perbankan Islam. Karena itu kita perlu mendukung secara penuh upaya untuk membuat RUU Perbankan Syariah yang direncanakan akan selesai pada akhir 2003 ini. Bahkan sudah saatnya kita mengembangkan wacana bank sentral syariah sebagai payung bersama bagi seluruh bank yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Bagaimanapun juga bank-bank syariah membutuhkan institusi bank sentral tersendiri, yang terpisah dengan bank sentral yang sudah ada. Karena tidak mungkin dalam suatu institusi ada dua system yang memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar, akibatnya akan selalu ada permasalahan-permasalahan yang dapat menghambat perkembangan salah satunya. Dalam kasus ini, bisa jadi yang terhambat adalah perkembangan perbankan syariah

2. Kelebihan likuiditas
Membaiknya kinerja perbankan nasional 2003 ternyata diikuti dengan semakin menguatnya tingkat likuiditas bank-bank. Membaiknya likuiditas dapat dilihat dengan semakin banyaknya uang perbankan yang disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Pada Tabel 2 terlihat posisi SBI yang berada pada aset bank-bank cenderung meningkat dari bulan ke bulan. Peningkatan SBI mengindikasikan bank-bank memiliki likuiditas berlebihan yang disebabkan bank-bank tidak mampu menyalurkannya dalam bentuk kredit atau aktiva produktif lainnya (earning assets).
Tingginya likuiditas yang dimiliki perbankan di satu sisi sangat menggembirakan karena akan memperkuat kemampuan likuiditas bank-bank apabila terjadi mismatch maupun penarikan dana seketika dalam jumlah besar.
Namun di sisi lain, kondisi likuiditas yang berlebihan menunjukkan bank-bank tidak memiliki alternatif penyaluran dana lain di luar SBI. Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan bank-bank akan mengalami kondisi over likuid tersebut karena pertanyaan mendasar ini sangat berkaitan sekali dengan kemampuan bank menghasilkan keuntungan yang lebih besar.Dengan masih besarnya likuiditas perbankan yang disimpan dalam bentuk SBI, berarti potensi keuntungan bank untuk memperoleh pendapatan lebih besar menjadi semakin menurun karena SBI hanya memberikan bunga sekitar 8,5 persen.Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan pendapatan suku bunga kredit yang sekitar 13-16 persen, pendapatan dari SBI relatif lebih kecil. Semakin besar bank menyalurkan kreditnya, potensi keuntungan dari pendapatan bunga yang akan diperoleh juga semakin meningkat.

3. Kredit bermasalah (problem loan)
Dibalik keberhasilan bank sebagai salah satu subsektor ekonomi dan merupakan salah satu penggerak ekonomi national kita, namun dalam kenyataannya masih menyimpan berbagai hal yang memprihatinkan dan salah satunya berupa : kredit bermasalah atau dikenal sebagai problem loan atau non-performing loan. Fenomena kredit bermasalah ini sebenarnya bukan merupakan barang baru, bahkan tidak menutup kemungkinan sejak lembaga bank lahir dan menjalankan kegiatan pemberian kredit maka sejak saat itu pula kredit bermasalah sudah muncul. Karena kredit itu sendiri pada dasarnya adalah mengelola resiko, bilamana resiko tersebut tidak dikelola dengan baik maka hasil akhir yang berupa kredit bermasalah tersebut hanya merupakan konsekwensi logis saja.
Melihat data kredit bermasalah perbankan (NPL) dari Tabel 1 sepertinya masalah NPL masih menjadi pekerjaan rumah perbankan yang belum terselesaikan sejak program penyehatan dan restrukturisasi perbankan dimulai 1998.
Walaupun rasio NPL neto (setelah diperhitungkan dengan penghitungan cadangan) terus mengecil dan mencapai 1,3 persen pada 2003, secara kotor (gross) masih berada pada angka 7,9 persen.
Tampaknya masih cukup sulit bagi perbankan untuk menurunkan angka rasio tersebut karena berbagai faktor seperti kredit-kredit hasil restrukturisasi mengalami penurunan kualitas lagi, masih ada kredit-kredit lama yang belum direstrukturisasi, dan munculnya potensi kredit bermasalah dari debitor baru. Masalah NPL tersebut menjadi tantangan besar bagi dunia perbankan 2004 karena sejak program restrukturisasi perbankan dimulai 1998, rasio NPL gross sulit mencapai angka ideal 5 persen.
Apabila bank-bank mampu menekan rasio NPL gross di bawah 5 persen, maka potensi keuntungan yang akan diperoleh akan semakin besar karena bank-bank akan menghemat uang yang diperlukan untuk membentuk cadangan kerugian kredit bermasalah atau penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP).
Dengan semakin kecilnya PPAP yang harus dibentuk bank-bank, maka laba usaha yang diperoleh menjadi semakin besar sehingga kinerja bank secara keseluruhan akan ikut membaik.

4. mentalitas para kreditor/bankin di Indonesia

Kalangan pengusaha terus mengeluh soal suku bunga kredit yang masih tetap tinggi kendati Bank Indonesia (BI) terus-menerus memangkas BI Rate.
Sepanjang delapan bulan tahun ini, BI Rate telah turun 2,25%, dari 8,75% menjadi 6,5%. Industri perbankan dinilai cepat memberi respons di sisi penurunan suku bunga dana, tetapi lambat di sisi suku bunga kredit. Suku bunga dana rata-rata turun enam kali lebih cepat daripada suku bunga kredit.
Akibatnya, suku bunga kredit tetap membebani kalangan pengusaha, mengurangi daya saing, dan memperlambat kemampuan mereka untuk melakukan ekspansi atau memanfaatkan peluang ekonomi pascakrisis. Padahal, semua tahu, gerak sektor riil sangat ditentukan oleh akses likuiditas yang terbuka lebar bagi para pelaku usaha.
Semakin rendah suku bunga, semakin rendah beban bunga usaha; semakin rendah biaya kesempatan (opportunity cost) dalam menjalankan bisnis, semakin tinggi rangsangan untuk berinvestasi. Dalam kondisi sekarang, wajar jika muncul penilaian bahwa perbankan nasional tidak efisien, kurang mampu menjalankan fungsi intermediasi secara optimal, dan bahkan dituding telah bermetamorfosis menjadi lembaga rentenir.
Tentu kita memahami, penurunan BI Rate tidak serta-merta dapat ditransmisikan menjadi penurunan suku bunga kredit. Dibutuhkan masa transisi yang cukup karena perbankan telah terikat kontrak-kontrak dengan pihak pemasok dana dengan suku bunga dana yang belum turun.
Di tengah kecenderungan suku bunga turun, para penyedia dana biasanya melakukan kontrak simpanan berjangka panjang sehingga ketika BI Rate turun, mereka masih menikmati bunga yang relatif tinggi. Yang menjadi persoalan, BI telah berkali-kali memberi sinyal agar perbankan lebih berani menyalurkan kredit dan menurunkan suku bunga kredit.
Paket Regulasi Perbankan April 2008, misalnya, berisi upaya BI untuk perlonggar aturan kredit. BI juga terus mendorong bank umum untuk memperbesar penyaluran kredit ke segmen mikro dan kecil melalui program linkage (keterkaitan). BI juga terus berusaha memfasilitasi pertemuan kalangan perbankan nasional agar secara bersama-sama segera merespons penurunan BI Rate.
Apa yang sesungguhnya terjadi sehingga suku bunga kredit tetap bercokol tinggi? Banyak alasan dikemukakan. Pertama, biaya dana ternyata tidak mudah diturunkan karena komposisi penabung di Indonesia sangat didominasi oleh deposan besar yang umumnya meminta suku bunga tinggi.
Para deposan ini memiliki posisi tawar tinggi dalam negosiasi suku bunga dan bila permintaannya tidak dipenuhi, mereka dapat sewaktu-waktu menarik dananya dan menimbulkan guncangan. Kedua, tingkat efisiensi perbankan nasional masih rendah. Salah satu ukuran efisiensi, yaitu rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO), menunjukkan angka di sekitar 65%, sedangkan di negara lain sudah di bawah 50% seperti Singapura dan Malaysia. Dengan kata lain, banyak pemborosan terjadi dalam industri perbankan kita. Kompensasi eksekutif yang tinggi dan promosi berlebihan merupakan dua aspek yang pernah diperdebatkan secara ramai. Selain tidak efisien, mentalitas bankir Indonesia juga pernah dikeluhkan banyak kalangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyatakan, para bankir tersebut kurang inovatif dalam menyalurkan kredit. Mereka hanya mencari cara termudah dalam mendapatkan hasil investasi, yaitu menempatkan uangnya di surat berharga negara atau Sertifikat Bank Indonesia (24/04/09). Jadi mentalitas bankir kita mirip mentalitas pedagang (trader) yang menekankan keuntungan jangka pendek. Ini tecermin dari margin bunga bersih (net interest margin) yang sangat tinggi, yaitu sekitar 6%, melampaui negara lain yang menjadi pesaing utama Indonesia dalam persaingan global.
Kondisi ini tetap bertahan karena penurunan margin keuntungan akan mengganggu bonus akhir tahun direksi dan komisaris. Ini merupakan salah satu biaya keagenan (agency problem) yang biasa timbul dalam organisasi bisnis berskala besar. Ketiga, struktur industri perbankan Indonesia, meski pemainnya banyak, sudah masuk ke struktur oligopoli.
Oligopoli adalah pasar persaingan dengan sedikit pemain yang menentukan harga pasar karena mereka memiliki kekuatan pasar. Pasar demikian cenderung kaku dalam menetapkan harga jual sehingga terjadi kekakuan harga (price rigidity). Harga, dalam hal ini bunga kredit, mudah terkerek naik, tapi malas untuk turun.
Keempat, lepas dari lalu lintas pandangan yang menyemaikan benih dan suasana optimistis, kalangan perbankan masih melihat risiko usaha di Indonesia tetap tinggi. Ketidakselarasan aturan, baik vertikal (pusat-daerah) maupun horizontal (antarinstansi), yang sering menimbulkan lubang-lubang penafsiran sesuai kepentingan masing-masing, dinilai masih memekati lingkungan dunia usaha nasional.
Persepsi bahwa pengusaha tetap dijadikan “objek pemerasan” aparat birokrasi juga tetap hidup subur. Mentalitas pengusaha kita, di sisi lain, juga sering membuat kita tercengang. Mereka lebih senang mendanai usahanya dari berutang meski harus membayar bunga yang tinggi.
Tak jarang, mereka dengan tenang memarkir dananya di bank asing atau di luar negeri dan mempertaruhkan risiko usahanya di atas kredit dari bank nasional. Kalau kondisi terburuk terjadi, paling sial mereka menyatakan diri bangkrut. Namun, kekayaan pribadi mereka tetap aman.
Upaya kita bersama untuk menegakkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan struktur persaingan pasar yang sehat tentu pada saatnya akan membuat industri perbankan nasional menjadi semakin efisien. Pada pasar persaingan yang sehat, praktik perbankan yang tidak sehat tak akan bertahan lama. Penegakan peraturan yang sehat akan melahirkan para pelaku usaha yang bersih. Kita gembira karena proses ke arah sana masih terus berlangsung.

5. Intermediasi
Masalah intermediasi perbankan merupakan masalah klasik yang sering dilontarkan berbagai pihak, khususnya mereka yang berasal dari sektor riil. Perbankan sering mendapat kritikan keras karena dianggap belum menjalankan fungsi intermediasi dengan baik
Yang menjadi masalah adalah intermediasi perbankan tersebut berjalan agak pelan sehingga rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan-to-deposit ratio/LDR) hanya bergerak tipis dari 38,2 persen menjadi 42 persen pertahun. Reposisi bank-bank dalam memberikan kredit dari sektor korporasi ke sektor usaha kecil dan menengah (UKM) setelah krisis berlalu menyebabkan bank-bank besar saat ini berlomba-lomba menyalurkan kreditnya ke sektor UKM yang sebelum krisis porsinya kecil sekali.Sebaliknya, sektor UKM tidak mampu menyerap jumlah kredit yang besar seperti halnya sektor korporasi. Selain itu keengganan dari bank-bank besar dan menengah untuk menyalurkan kredit ke sektor korporasi setelah krisis menjadikan bank-bank sangat selektif dan berhati-hati memilih nasabah korporasi.
Kedua faktor tersebut ditengarai menjadi penyebab mengapa intermediasi perbankan belum mengalami pertumbuhan cepat dan signifikan
Apabila perbankan mampu meningkatkan fungsi intermediasinya maka satu permasalahan perbankan akan terjawab, yaitu bank-bank tidak lagi akan mengalami kelebihan likuiditas yang berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar